Akhir-akhir ini, dunia kerja—terkhusus pada lingkup generasi millennials dan Z—kian ramai dengan bisik-bisik hustle culture. Ini adalah istilah yang dipakai untuk merujuk pada keadaan bekerja terlalu keras hingga aktivitas itu menjadi sebuah gaya hidup (Taylor’s University). Alhasil, pekerja atau si “workaholic” akan terus mengerahkan waktu dan tenaganya untuk bekerja, di akhir pekan sekalipun, sampai lupa pada kehidupan pribadinya. Padahal, akibat kerja nonstop untuk tubuh tidak main-main, loh! Apa saja?

Meningkatkan risiko kematikan karena stroke atau serangan jantung

Apakah judul di atas sudah cukup menyeramkan? Yup, itulah hasil temuan Organisasi Kesehatan Dunia dalam studi global mereka pada tahun 2021 silam. Penelitian tersebut menyatakan bahwa 745 ribu kasus kematian karena penyakit kardiovaskular (jantung) di dunia itu disebabkan oleh kerja nonstop atau lebih dari 55 jam per minggu.

Tak cuma itu, studi tersebut juga menemukan kalau orang yang bekerja nonstop memiliki risiko 35% lebih tinggi terjangkit stroke dan 17% lebih tinggi terkena penyakit jantung daripada mereka yang bekerja 35–40 jam per minggu.

Secara medis, kemungkinan penyakit kritis di atas itu bisa muncul lantaran tingkat stres akibat kerja nonstop akan merusak sel-sel di otak dan jantung. Rasa tertekan atau stres itu juga bisa memicu respons perilaku gaya hidup tidak sehat, misalkan kurang berolahraga, makan yang tidak bergizi, juga kurang tidur.

Merusak atau memperburuk kesehatan mental

Akibat kerja nonstop yang kedua adalah potensi kerusakan atau perburukan kesehatan mental. Hal ini akan terjadi ketika seorang workaholic terus-terusan mengorbankan kebutuhan pribadinya untuk beristirahat. Lama-kelamaan, lelah fisik itu akan menggerogoti kesehatan mentalnya juga.

Simpulan di atas berasal dari sebuah studi tahun 2020 dengan objek penelitian berupa pekerja Korea berusia 20 tahunan dan 30 tahunan yang bekerja 31–60 jam per minggu. Ternyata, semakin lama para perkerja itu bekerja, semakin tinggi juga tingkat stres, depresi, dan ide bunuh diri yang mereka rasakan.

Mengganggu kuantitas dan kualitas tidur

Dampak selanjutnya adalah turunnya kuantitas dan kualitas tidur. Ketika seseorang memilih untuk bekerja alih-alih memejamkan mata, tentu jam tidurnya akan berkurang. Hal ini lambat laun akan mengganggu kualitas tidur serta kualitas hidup sehari-harinya juga.

Menurut sebuah tinjauan ulang terhadap 200 penelitian dari tahun 1998–2018, durasi tidur yang pendek menyebabkan rasa lelah yang lebih besar, fungsi kognitif yang lebih buruk, potensi kecelakaan kerja yang lebih tinggi, serta masalah kesehatan mental yang lebih riskan.

Nah, itulah dia beberapa akibat kerja nonstop yang akan diterima oleh tubuhmu. Masih mau melanjutkan kebiasaan hustle culture itu?